Jakarta, Muslimedianews ~ Bagi pengkaji hukum Islam kontemporer, nama Jasser Auda jelas tidak asing lagi. Ia termasuk intelektual muslim yang tengah naik daun belakangan ini. Karya-karyanya tidak hanya diapresiasi di Timur-Tengah, tetapi juga didiskusikan oleh ilmuwan Barat, khususnya Amerika.
Jasser dilahirkan di Kairo tahun 1996. Masa mudanya dihabiskan untuk belajar agama di Masjid al-Azhar dari tahun 1983 sampai 1992. Sembari mengaji di al-Azhar, dia kuliah di Universitas Kairo jurusan ilmu komunikasi. Ilmu komunikasi ini digelutinya hingga meraih gelar MSc (Master of Science) pada kampus yang sama.
Setelah mendapatkan gelar tersebut, pengagum Von Bartanlanffy ini pindah ke Kanada untuk melanjutkan studi doktoralnya. Kali ini dia memilih kosentrasi yang agak berbeda dari sebelumnya, yaitu analisis sistem.
Analisis sistem ini sebenarnya sebuah disiplin baru yang dipopulerkan oleh Bartanlanffy dan Lazlo. Bartanlanffy sendiri awalnya seorang ahli biologi. Melalui ilmu ini dia memperhatikan bahwa organ tubuh manusia ternyata saling terkait antara satu sama lainnya. Misalnya, ketika ada orang sakit jantung, bukan berati penyebabnya karena kerusakan pada jantung semata, tetapi bisa jadi karena ada organ atau sel lain yang rusak, yang mempengaruhi kinerja jantung.
Model berpikir seperti ini dikembangkan Bartanlanffy hingga menjadi teori mapan, yang dapat diaplikasikan dalam ilmu fisika, administrasi, manajemen, bahkan hukum Islam. Dalam konteks hukum Islam, Jasser merupakan ilmuwan pertama yang mengembangkan pendekatan sistem untuk menganalisa problematika hukum Islam. Amin Abdullah mengatakan, apa yang dilakukan Jasser ini tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Dalam kesempatan lain, Amin Abdullah meramalkan Jasser sebagai intelektual yang berpotensi mendialogkan paradigma ‘ulumuddin, al-fikrul Islami, dan Dirasah Islamiyah.  
Ini bukanlah pujian yang berlebihan, sebab setelah menguasai filsafat sistem, Jasser mempelajari hukum Islam dengan sangat sungguh-sungguh: dia memulai studi strata satu dan magisternya dalam bidang hukum Islam di Universitas Islam Amerika, kemudian melanjutkan doktoral pada bidang yang sama di Universitas Wales Inggris.
Yusuf al-Qardhawi, Thaha Jabir al-Alwani, Hasan Turabi, dan Isma’il Sadiq al-‘Adawi termasuk tokoh yang mempengaruhi pemikiran hukum Islam Jasser Auda. Mereka ini dikenal sebagai intelektual yang acapkali menggemakan pembaharuan hukum Islam, tidak hanya diranah fikih, tetapi juga ushul fikih. 
Dilihat dari latar belakang pendidikannya tampak bahwa Jasser tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga mendalami ilmu umum. Safvet Halilovic, Profesor Tafsir dan Antropologi al-Qur’an Universitas Zenica, menyebut Jasser sebagai intelektual muslim kontemporer yang berwawasan luas, memiliki pengetahuan mendalam tentang Islam, dan memahami realitas kekinian umat Islam dengan baik.
Kontribusi Jasser Auda
Jasser memiliki kontribusi besar dalam pembaharuan metodologi hukum Islam.  Salah satu karyanya yang menginspirasi ialah Maqashid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. Dalam buku ini, Jasser berusaha membincang tiga ilmu sekaligus: maqashid al-shari’ah, ushul fikih, dan filsafat sistem. Ketiga pengetahuan ini sebelumnya terpisah dan tidak terkoneksi antara satu sama lainnya. Menariknya, Jasser mampu membuatnya menjadi satu-kesatuan dan saling terintegrasi. Apa yang dilakukannya tidak jauh berbeda dengan usaha al-Ghazali mengadopsi ilmu logika untuk memperbaiki metodologi hukum Islam. 
Menurut Jasser Auda, seorang ahli hukum harus melek perkembangan ilmu pengetahuan. Karena dengan itulah hasil ijtihad yang dikeluarkan seorang ahli fikih bisa relevan dengan masanya. Hukum Islam tidak akan produktif dan relevan jika ditilik dari satu perspektif saja. Semua disiplin terkait perlu dilibatkan untuk membaca hukum Islam. 
Ia mengatakan, perubahan hukum dipengaruhi oleh perubahan pandangan dunia (worldview) ahli fikih. Artinya, semakin luas wawasan seorang ahli hukum, maka pemahamannya terhadap hukum Islam akan semakin dalam dan komprehensif.  Baginya, hukum Islam (baca: fikih) itu bersifat cognitive nature, ia adalah produk pemikiran, bukan wahyu. Oleh karenanya, tidak mustahil orang sekarang  melakukan perombakan hukum Islam tradisional, termasuk metodologinya. 
Dalam membaca teks, yang perlu diperhatikan menurut Jasser ialah substansi teks (maqashid), bukan bentuk formalnya (makna tekstual). Makna tekstual penting diperhatikan hanya untuk kasus ibadah saja, sementara untuk kasus mu’amalah dan hukum publik, substansi teks lebih diprioritaskan ketimbang legal formalnya. Oleh sebab itu, Jasser menolak penerapan hudud di negara demokrasi. Sebab bentuk hukuman yang ada di negara demokrasi, seperti Indonesia, tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariat, yaitu sama-sama menjamin keadilan. 

muslimedianews.com