Maqasid Al Shariah Perspektif Jasser Auda

Oleh:

Dr King Faisal Sulaiman SH, LLM,.

Akademisi-Direktur LEAD Indonesia Institute

A. Prolog

Jasser Auda merupakan seorang tokoh intelektual muslim kontemporer yang amat tersohor di dunia Islam maupun Barat. Ia memperoleh gelar PhD dalamAnalisis Sistem dari University of Waterloo, Kanada pada tahun 1996. Ditahun 2008, Gelar PhD juga didapatkannya dalam Teologi dan Studi Agama dari Universitas Wales, Inggris. Jasser Auda menempuh pendidikan dan mendapatkan gelar B.Sc. Teknik dari Universitas Kairo pada tahun 1998. Selanjutnya pada tahun 2004 Ia memperoleh gelar BA dalam Studi Islam dari Universitas Amerika Islam, AS dengan konsentrasi “fikih perbandingan”. Saat ini Ia merupakan direktur dan pendiri Al-Maqasid Research Center di London. Dia adalah seorang Research Fellow di University of Southampton, Inggris, associate professor beberpa perguruan tinggi terkenal dunia seperti : Sekolah Tinggi Seni dan Ilmu, American University of Sharjah, UEA, Ryerson University, Kanada, University of Bahrain dan University of Waterloo, Kanada, associate professor pada program Kebijakan Publik, Fakultas Studi Islam, Qatar Foundation, Dia menjadi Visiting Associate Professor di Departemen Hukum Islam, Fakultas Hukum, Universitas Alexandria, Mesir.

Ia juga berafiliasi dengan berbagai organisasi yang aktif dalam keilmuan Islam seperti Dewan Ulama Muslim Inggris, anggota pendiri dari Uni Internasional untuk Cendekiawan Muslim, yang berbasis di Dublin; anggota Dewan Akademik Institut Internasional Pemikiran Islam, Inggris; anggota Dewan Pengawas dari Studi Peradaban global Pusat, Inggris; anggota Dewan Eksekutif Asosiasi Ilmuwan Sosial Muslim, Inggris; anggota Forum Melawan Islamofobia dan Rasisme, Inggris, dan dosen tamu ke sejumlah lembaga akademik di Inggris, Kanada, Mesir, dan India.Terdapat beberapa karya intelektualnya telah dipublikasikan secara massal. Buku terakhirnya dalam bahasa Arab (dan Urdu) adalah: Fiqh al-Maqasid, dan dalam bahasa Inggris adalah: Maqasid al-Syariah sebagai Filsafat Hukum Islam: Suatu Pendekatan Sistem. Kedua karya ilmiah ini, diterbitkan oleh Institut Internasional Pemikiran Islam (IIIT) pada tahun 2007.

Jasser Auda berhasil memberikan sebuah tawaran solutif berupa keberanian kita untuk membuka diri dan melakukan pembaharuan di segala bidang dengan mengandalkan sistem maqasid alshari’ah itu sendiri berdasarkan realitas sosial empirik. Secara statistik, umat Islam jumlahnya hampir seperempat penduduk dunia, yang terbentang mulai dari Afrika Utara sampai Asia Timur. Demikian juga banyak muslim minoritas yang tersebar di wilayah Eropa dan Amerika. Akan tetapi jika dilihat dari ukuran Human Development Indek (HDI), tingkat kemajuan yang dicapai oleh umat Islam dunia tergolong masih sangat rendah. Terlebih, faktor-faktor determinan yang dipakai dalam HDI tersebut meliputi tingkat buta aksara, pendidikan, partisipasi politik, ekonomi dan pemberdayaan atau emansipasi wanita, menujukkan masih dibawah standar minimal. Jasser Auda meyakini bahwa, hukum Islam dapat membawa pengaruh pada peningkatan produktivitas, perilaku humanis, spiritualitas, kebersihan, persatuan, persaudaraan, dan perilaku demokratis masyarakat yang tinggi. Akan tetapi, dalam perjalanannya ke berbagai negara timbul pertanyaan besar, yakni dimana posisi dan peran dalam kondisi yang krisis tersebut.

Termasuk dimanakah letak kesalahan dari hukum Islam tersebut. Melalui riset ilmiah, dia berusaha untuk membuktikan bahwa hukum Islam mampu memberikan jawaban atas krisis tersebut dengan pendekatan multi disiplin umum tentang hukum Islam, filsafat, dan teori sistem. Disiplin hi dimaksud termasuk Usul Fiqh, Fiqh, Ilmu hadist, dan Ilmu Tafsir. Sedangkan disiplin teori sistem merupakan disiplin baru yang independen yang mencakup sejumlah sub-disiplin, antara teori sistem dan analisis sistemik. Sistem teori merupakan filsafat lain yang anti-modernime dan mengkritik teori modernisme. Termasuk teori sistem di dalamnya adalah konsep tentang kesatuan (wholeness), multidimensional, terbuka, dan mengarah pada tujuan tertentu (purposefulness).

B. Mereview Metode Ijtihad

Para ulama fiqih, pada umumnya memberi pengertian fiqih sebagai hasil dari pergulatan pemahaman, persepsi dan pengamatan manusia. Fiqih adalah persoalan persepsi dan interpretasi seseorang yang bersifat subjektif. Karena itu metode ijtihad fiqih dan hasil yang dicapainya acap kali dipersonifikasikan sebagai sebuah regulasi dari “Tuhan” yang tidak bisa diganggu gugat. Ayat-ayat al-Qur’an adalah wahyu, tetapi interpretasi ulama’ bukanlah wahyu. Namun demikian, seringkali persepsi dan interpretasi ini diungkapkan sebagai perintah Tuhan untuk digunakan berbagai kepentingan orang-orang tertentu. Hasil ijtihad seringkali dimasukkan dalam kategori pengetahuan wahyu, meskipun hasil hukum dan validasi metode ijtihadnya masih diperdebatkan.

Contoh utamanya adalah soal ijma’ (consensus). Meski terdapat perbedaan besar atas berbagai keputusan ijma’, namun sebagai ulama’ fiqh menyebutnya sebagai dalil qat’iyang setara dengan nass (Dalilun Qat’iyyun ka al-Nass), dalil dibuat oleh pembuat shari’at (dalilun nassabah al-Shari’) dan karena itu jika ada yang menolak ijma’ berarti dapat dianggap kafir (jahid al-ijma’ kafir). Pembaca yang familiar dengan referensi fiqh konservatif atau tradisional akan mengetahui bahwa ijma’ sering dijadikan sebagai klaim untuk memvonis pendapat orang lain yang berseberangan dengan kita. Ibnu Taimiyah sebagai ilustrasi, mengritik buku tentang kumpulan ijma’ (mara tib al-Ijma’) karya Ibn Hazm. Dikatakannya, bahwa klaim perkara-perkara yang sudah di-Ijma’kan dalam kitab tersebut tidak akurat, sebab persoalannya masih khilafiah. Seperti menolak ijma’ dianggap kafir, persoalan tidak ikutnya perempuan dalam shalat jama’ahnya laki-laki, dan penyelenggaraan pembayaran empat dinar emas sebagai jiziyah (pajak).

Dalam aspek ini, Jaser Auda berpandangan bahwa ijma’ bukanlah sebuah sumber hukum, akan tetapi hanya sebuah mekanisme pertimbangan atau sistem pembuatan kebijakan yang melibatkan banyak orang atau pihak. Oleh karena itu, Ijma’ sering disalahgunakan oleh sebagian ulama untuk memonopoli fatwa demi sekelompok kepentingan elite tertentu. Sampai sekarang, prinsip-prinsip itu masih sangat mungkin digunakan sebagai rujukan atau mekanisme untuk membuat fatwa yang bersifat kolektif, terlebih persoalan yang terkait dengan teknologi modern dan dengan cara memanfaatkan telekomunikasi yang sangat cepat. Ijma’, juga dapat dikembangkan dalam bentuk partisipasi masyarakat dalam memutuskan kebijakan pemerintah.

Di sisi lain, ulama fiqih juga menganggap bahwa metode penalaran analogi (Qiyas) adalah didukung dan diperintah oleh wahyu. Mereka berpendapat bahwa menganalogikan kasus sekunder (yang tidak terdapat dalam nass) kepada kasus primer (yang terdapat dalam nass) adalah keputusan Tuhan (tashbihu far’in bi ‘aslin tashbih al-shari’). Oleh karena itu, dalam kasus-kasus ijtihadiyah yang menggunakan metode penalaran analogis, beberapa ulama fiqh menganggap diri mereka “berbicara atas nama Tuhan”. Hal ini adalah sebuah bencana, yang dikutip Garaoudi, dimana batas antara firman Tuhan dan perkataan manusia.

C. Dilema Wahyu Versus Tafsir

Posisi kelompok para fuqaha, dalam literatur hukum Islam dinamakan al-Musawwibah (para validator), ketika memutuskan berdasarkan atas ‘asumsi-asumsi’ (zunun) untuk merefleksikan suatu teks. Dalam posisi semodel ini harus jelas, dimana letak hasil pikiran manusia dengan teks wahyu tersebut. Dengan demikian, seseorang hendaknya memisahkan antara nash dengan hasil ijtihad, antara wahyu dengan penafsiran dari perspektif subjektivitas seseorang dalam memahami wahyu itu sendiri. Hal ini oleh karena, fiqh itu ialah hasil refleksi pengamatan manusia berdasarkan sistem-sistem tertentu. Para validator (al-Musawwibah) menyatakan bahwa terdapat berbagai macam kebenaran dari hasil ijtihad pada mujahidun. Dengan demikian terdapat perbedaan dalam klaim opini hukum yang dibangun sehingga menimbulkan perbedaan pendapat. Semua itu merupakan bentuk ekspresi yang diperbolehkan dan kesemuanya adalah benar menurut klaim opini masing-masing. Al-Musawwibah dalam kelompok ini tergolong ulama fiqih filusuf, semisal Abul Hasan Ay’ari, Abu Bakar ibn al-‘Arabi, Abu hamid al-Ghazali, ibn Rusyd dan sejumlah ulama Mu’tazilah. Al-Ghazali mengungkapkan pandangan mereka, bahwa hukum Tuhan bergantung pada “keputusan hukum fiqh dalam perspektif ‘ulama fiqh. Apa yang diputuskan ulama fiqh adalah yang paling mungkin benar. Sebuah pendekatan sistem hukum Islam membutuhkan arahan suatu sistem kepada pemikiran ontologis dari sebuah kalimat.

Oleh karena itu implementasi keunggulan sistem cognitive nature akan memastikan pada penyimpulan para validator (Al-Musawwibah) ketika memutuskan suatu putusan hukum apakah mungkin berada pada posisi benar dan fuqaha yang lain memiliki opini lain yang bisa yang bisa mengkoreksi atas putusan tersebut. Berdasarkan atas sistematika pembagian shari’at yang datangnya dari fiqh atau pemahaman. Hal ini menunjukkan perbedaan yang amat nyata dalam pemahaman mengenai posisi fiqh itu sendiri.

Jadi fiqh digeser dari posisi “pengetahuan wahyu” kepada posisi “pemahaman manusia yang dihasilkan dari pengetahuan wahyu”, turun atau keluar dari lingkaran pengetahuan wahyu tersebut. Oleh karena itu, jelas perbedaan antara shari’ah dengan fiqh. Hal ini tentu berimplikasi, bahwa tidak ada lagi praktek fiqh yang dikualifikasikan sebagai materi keyakinan, tanpa memperhatikan pertimbangan otentisitas (thubut), implikasi bahasa (dilalah), ijma’ dan pemikiran qiyas. Lebih jauh lagi, berdasarkan atas pembedaan antara tipe-tipe tradisi kenabian (sunnah), menurut maqasid, kedudukan tradisi kenabian (sunnah) digeser keluar dari lingkaran “pengetahuan wahyu”. Tradisi kenabian meliputi tiga tipologi yakni; (a) sebagai pembawa risalah kenabian (al-tasarrufu bi al-abligh), (b) sebagai seorang hakim dan pemimpin (teks harus difahami sesuai konteks yang dimaksud), dan (c) sebagai manusia biasa. Tiga model tipologi ini secara otomatis membawa konsekuensi tersendiri. Peran Nabi pada item (a) dan (b) masih dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan hukum. Misalnya ketika Nabi menyelesaikan sengketa diantara sahabat.

Meskipun demikian, tidak semua perilaku Nabi (a) dan (b) dapat dijadikan sebagai rujukan, kecuali yang ada korelasinya secara kontekstual, dapat dijadikan rujukan. Adapun pada item (c) Nabi dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa, hal ini tidak dapat dijadikan sebagai bagian rujukan untuk memutuskan suatu hukum. Sekedar ilustrasi, sewaktu nabi memakai gamis, maka hal ini harus difahami sebagai bagian dari budaya arab dan bukan bagian dari misi kenabian itu sendiri. Hal ini berbeda ketika, Nabi melaksanakan ibadah shalat. Dalam konteks ini posisi Nabi harus difahami sebagai pembawa risalah Ketuhanan agar dicontohi ummatnya. Selain itu, kedudukan Urf sebagai suatu tradisi atau dalam makna lain “kondisi sosial”, tidak bisa dinafikan oleh karena mempunyai peran penting dalam proses pengambilan keputusan hukum.

D. Membangun Sistem Yang Holistik (Nahwa al-Dalil al-Kulli)

  1. Menggugat Dalil Tunggal

Beberapa ahli hukum memperhatikan pada pembatasan pendekatan reduksionis dan atomistik yang biasa digunakan untuk usul fiqh. Bagaimanapun juga kritikan mereka atas atomisme didasarkan pada korelasi tidak pasti sebagai perlawanan atas dua posisi yang bertentangan yaitu kepastian. Seseorang harus berhati-hati dalam menggunakan dalil-dalil tunggal (ahad), karena seringkali bersifat dugaan (zanni). Jika ditelusuri, landasan dibalik filsafat Fakhruddin al-Razi pada hakekatnya, didedikasikan sebagai bentuk apresiasinya terkait bagaimana mendalaminya atas klaim kepastian dalil verbal yang tunggal. Bagaimanapun, perhatian al-Razi dengan ketidakpastian dalil tunggal tidak membawanya untuk melihat problem utama dari pendekatan dalil tunggal, yang didasarkan atas hubungan kausalitas. Dalam perspektif ini, Fakhruddin al-Razi, kemudian menyimpulkan berbagai sebab, yang berkaitan dengan sebuah narasi mengapa suatu dalil dapat bersifat dugaan (zanni) diantaranya:

  1. Terdapat kemungkinan bahwa nass tunggal dapat dibatasi oleh kepastian keadaan tertentu, tanpa kita ketahui.

  2. Terdapat kemungkinan bahwa nass tunggal bersifat metaforis.

  3. Referensi kebahasan kita dari ahli Bahasa Arab yang mungkin salah.

  4. Grammer Bahasa Arab (nahwu-saraf) disampaikan kepada kita melalui syair-syair Arab kuno melalui riwayat individual (riwayat ahad). Riwayat ini tidak memiliki kepastian atas keaslian syair, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan grammar.

  5. Kemungkinan nass memiliki banyak makna.

  6. Adanya kemungkinan satu kata atau lebih pada nass telah diubah, dalam waktu yang lama, padahal perubahan makna dalam satu waktu dapat merubah makna aslinya.

  7. Kemungkinan nass punya makna yang tersembunyi (khafi), yang tidak dapat dimengerti oleh kita.

  8. Kemungkinan nass sudah dibatalkan tanpa sepengetahuan kita.

  9. Keputusan hukum kemungkinan didasarkan kepada nass difahami oleh akal terasa ‘aneh’. Antara makna teks dengan realitas rasional tidak bisa diterima.

Dalam perspektif ini, Jasser Auda kemudian menambahkan sembilan kesimpulan sebab di atas sebagai berikut:

  1. Terdapat kemungkinan nass tunggal dalam memiliki arti tertentu, kontradiktif dengan nass tunggal yang lain (Ta’arud al-Nass), yang demikian ini terjadi pada sejumlah besar nass, terdapat kajian khusus tentang nass yang berlawanan tersebut (al-muta’arid).

  2. Kemungkinan terjadi kesalahan susunan dalam menyampaikan teks Hadits ahad, yang kebanyakan terdiri dari narasi kenabian.

  3. Kemungkinan terjadi perbedaan interpretasi terhadap beberapa nass tunggal yang mempengaruhi cara kita membayangkan makna dan implikasinya.

  1. Prinsip Holistik

Beberapa ahli hukum tradisional telah menekankan pentingnya menggunakan holistik (al-dalil al kulli). Al Juwayni, sebagai contoh, yang menyarankan agar menggunakan prinsip keunggulan holistik hukum Islam untuk menentukan dalil hukum agar memenuhi prosedur yang tepat, ia menyebut sebagai ‘analogi holistik’ (qiyas kulli). Al-shatibi, mempertimbangkan usul fiqh mendasarkan pada penonjolan universalitas untuk mengungkapkan hukum (kulliyat al shari’ah). Dia juga memberikan prioritas pada dasar-dasar universalitas (al- qawa’id al kulliyah)pada keputusan dalil tunggal maupun parsial. Alasannya adalah putusan dalil tunggal ataupun parsial mendukung dasar-dasar holistik, dimana tujuan (maqasid) harus dirawat atau dipelihara. Kelompok Islam modern mempertajam kekurangan umum dari perspektik parsial dan individual hukum Iswlam. Sarjana kontemper mencoba memperbaiki kewajiban individual (al-fardiyah) dalam gagasan maqasid. Termasuk Ibn Ashur memberikan prioritas maqasiduntuk masyarakat, bukan hanya untuk individu semata. Demikian pula teorinya Rashiod Rida tentang reformasi dan HAM. Termasuk pula, konstruksi teorinya Taha Al-Alwani mengenai masaqiduntuk pengembangan peradaban semesta.

Terdapat pula, teorinya Yusuf Al-Qardawi perihal prinsip universalita sistem maqasid yang bersandar pada Al-quran demi membangun tatanan keluarga dan bangsa secara keseluruhan. Bagaimanapun juga, oleh karena aliran moderen mengambil langit filsafat abad 19, maka abad 20 Islam modere-konteporer tidak dapat keluar dari tradisi “sebab akibat” (kausalitas), sebagai dasar tata laksana teologi itu sendiri. Kelompok modernis Islam akhir-akhir ini mengintrodusir aplikasi yang signitifikan mengenai prinsip holisme tersebut dengan pola tafsir tematik.Tafsir Hasan Turabi yang berjudul “Al tafsir Al-Tawhidi” dengan jelas memperlihatkan pendekatan holism tersebut. Dia mengekplanasikan bahwa pendekatan kesatuan (tahwidi) atauholistik (kulli) memerlukan sejumlah metodologi pada level yang beragam. Pada level bahasa, membutuhkan koneksi dengan bahsa Al-Qur’anketika bahasa penerima pesan-pesan Al-Qur’an pada waktu wahyu itu diturunkan. Pada level pengetahuan, manusia manusia membutuhkan sebuah pendekatan holistik untuk memahamidunia yang terlihat dan yang tidak terlihatdengan seluruh jumlah komponen yang banyak dan ketentuan yang memerintah mereka. Sedangkan pada level topik, manusia membutuhkan hubungan denan teman-teman tanpa memperhatikan tatanan wahyu, selain untuk mrnerapkan pada ralitas kehidupan sehai-hari.

Dalam batasan ini termasuk orang-orang yang memperhatikan ruang dan waktu mereka. Ini juga membutuhkan kesatuan hukum dengan moralitas dalam satu pendekatan yang bersifat holistik. Pada era kontemporer saat ini, menurut Jaseer Auda, prinsip holistik dengan menggunakan sistem filosofis dapat diperankan sebagai sarana pembaharuan (reformasi). Hal itu tidak terbatas pada sisi hukum Islam an sich, akan tetapi pada “Ilm Al-Kalamalias filosofi agama tersebut. Dengan kata lain, prinsip penciptaan (Dalil al-ri’ayah) akan lebih bergantung kepada “keramahan manusia pada lingkungan ekosistem dan subsistem dan subsistem” dari pada dalil klasik yang dikemukakan tentang “klaim pembenaran”. Demikian juga tentang prinsip wujud atau eksistensi (dalil al-wujud) akan lebih bergantung pada desain integratifdan sistem alam semesa, dari pada argumentasi kosmologi klasik tentang “transisi pertama”.

E. Spektrum Reformis dan Modern

Suatu sistem harus terbuka dan dapat menerimapembaharuan,supaya bisa tetap survival. Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan untuk merombak pendekatan sistem hukum Islam. Pertama,merubah cara pandang atau tradisi pemikiran ulama fiqh. Yang dimaksud dengan tradisi pemikiran adalah kerangka mental ulama fiqh dan kesediaan mereka berinteaksi dengan dunia luar. Kedua,membuka diri pada filsafat yang digunakan sebagai mekanisme pemikiran pembaharuan sistem hukum Islam.Selama ini, dalam pandangan Jasser Auda, ulama fiqh masih sering berpikir secara “eksklusif”. Sebagai ilustrasi, statemen sebagian ulama’ Ahl al-Sunnah yang meyakini bangsa Arab sebagai lebih tinggi derajatnya dibanding dengan bangsa non Arab. Statemen ini jelas merupakan sebuah diskriminasi etnis yang seharusnya tidak boleh terjadi. Untuk itu, untuk mengembangkan maqasid pada era sekarang ini, logika berpikir seperti itu tidak boleh digunakan lagi. Sebuah pandangan dan wawasan luas para ahli hukum akan sangat berperan dalam menstransformasikan fiqh secara komprehensif. Termasuk di dalamnya pengetahuan pada al-Qur’an dan tradisi kenabian. Dengan demikian segala sisi dapat dikombinasikan dalam rangka memproduksi fiqh. Namun begitu, wawasan yang luas harus mempunyai kompetensi, sesuai dengan basis keilmuan yang dibutuhkan. Sebab, jika ahli hukum tidak memiliki kompetensi dan wawasan luas, maka ia tidak akan dapat merumuskan keputusan fiqh secara akurat atau bertanggung jawab.

Di sisi lain, terjadi penolakan para ulama atas pengaruh filsafat Yunani dan metode berfikir lain. Sebab kesemuanya dinilai tidak bersumber dari Islam. Al-Ghazali mengkritik keras filsafat Yunani dan orang-orang Islam yang mengikutinya. Namun pada kesempatan lain Al-Ghazali menerima logika Aristoteles. Dalam pada itu, Al-Ghazali menggunakan akar bahasa Arab yang secara langsung diperoleh dari al-Qur’an dan istilah hukum yang sudah dikenal, sebagai ganti dari Istilah filsafat Barat. Misalnya, Al-Mahmul (sifat predikat), menjadi Al-hukm (aturan), Al-hadd Al-Awsat (istilah menengah) menjadi Al-‘illah (sebab), Al-Muqaddimah (dasar pemikiran) yang kompeten menjadi Al-Asl (aturan dasar), Al-Natijah (kesimpulan) menjadi Al-far’ (aturan rinci), dan Al-mumkin (kemungkinan) menjadi Al-mubah (diperbolehkan).

Sekalipun Al-Ghazali populer sebagai penyebab stagnanya perkembangan teori dan pemikiran metodologi hukum Islam dari luar. Usul fiqh tetap meneruskan arah kebahasan yang bermuara pada penurunan logika. Pemikiran sistem fiqh melanjutkan pada sistem proposisi yang berhubungan dengan “perintah dan larangan”. Analogi terdekat untuk menjelaskan sistem pemikiran fiqh tradisional dalam waktu modern adalah menggunakan logika deontik. Walaupun logika deontik adalah sebuah istilah yang diciptakan oleh Von Wright pada pertengahan abad ke 20. Standar sistem Von Wright yang terkait dengan logika modal dan aksioma utama, sesungguhnya identik dengan pemikiran tradisional fiqh. Seperti logika, jika pekerjaan yang kita lakukan mengharuskan dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu harus juga dikerjakan (ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib). Itu sekedar ilustrasi, para ulama fiqh masih belum mampu mengembangkan keterbukaan dalam berfilsafat, dan menganggap bahwa sesuatu yang datangnya bukan dari Islam adalah sebagai sesuatu yang salah dan harus dihindari. Logika berpikir yang demikian dalam konteks pengembangan maqasid saat ini sangat sulit bisa diterima.

F. Spektrum Multidimensi

Bagaimana memposisikan Nass merupakan suatu item yang sangatlah urgen untuk ketahui atau dipahami. Dalam pengetahuan ulama tradisional, sesuai dengan pemahaman yang terdapat pada kitab klasik, konsep dalil Nass dibagi menjadi dua item yakni Qat’i (sudah pasti) dan zanni (belum pasti). Dalam perspektif Jasser Auda, Nass Qat’i ini, oleh ulama’ tradisional dibagi lagi menjadi tiga, yakni Wat’iyyat Al-Dilalah (penunjukan pasti), Qat’iyyat al-Thubut (keotentikannya pasti), dan Al-Qat’i al-mantiqi (logikanya pasti). Sebenarnya konsep Qat’i ini yang merumuskan adalah ulama’ tradisional berdasarkan dugaan mereka, yang kemudian dinyatakan sebagai “kebenaran pasti”. Menurut Jasser Auda, saat ini, untuk mengukur suatu “kebenaran” sebaiknya diukur dengan “apakah ditemukan bukti pendukung atau tidak”.

Semakin banyak bukti pendukung, maka semakin kuat tingkat “kebenaran pastinya”. Di sisi lain, terdapat permasalahan dalam istilah ta’arud al-adilah (kontradiksi antara teks). Sebab, sebenarnya yang kontradiksi adalah dari segi bahasa semata, bukan pada aspek logika yang selalu dikaitkan dengan waktu saat teks itu dirumuskan. Jika sisi logika ini difungsikan, yang menjadi patokan ialah, apakah searah dengan substansi terdapat pertentangan ataukah tidak atas teks-teks yang dimaksud. Dalam konteks ini, aspek historis sosiologis berperan dan dilibatkan di dalam menyikapi permasalahan ta’arud al-adillah (kontradiksi antara teks). Guna mengatasi problematika ini, maka para ulama’ fiqh sebaiknya memakai paradigm maqashid, yakni mengambil skala prioritas pada teks dengan mempertimbangkan kondisi sosial yang ada serta menafikan pertentangan antara teks satu teks bertentangan satu sama lain. Bagaimana mungkin firman-firman Allah yang diturunkan oleh Allah sendiri saling bertentangan (kontradiksi). Membenarkan permasalahan ta’arud ini, justru akan merendahkan Allah SWT dan menuduh bahwa firman Allah tidak holistik.

Pendekatan multi dimensional dikombinasikan dengan pendekatan maqasid, akan dapat memberikan solusi bagi pertentangan dua dalil yang dilematis. Contoh yang dapat dipertimbangkan ialah ibarat satu atribut yang mengandung dimensi negatif dan positif. Dua dalil mungkin dalam satu pendapat dalam term satu atribut, seperti dalam masalah perang dan damai, keteraturan dan kekacauan, berdiri dan duduk, laki-laki dan perempuan dan seterusnya. Jika kita hanya fokus kepada satu dimensi, maka kita tidak akan menemukan jalan untuk penyelesaiannya. Bagaimanapun, jika kita memperluas dari satu ruang dimensi kepada dua dimensi, yang kedua adalah maqasid, yang memberikan kontribusi dalil, maka kemudian kita akan dapat menyelesaikan pertentangan tersebut dan memahami atau menafsirkan dalil dalam konteks yang seutuhnya.

G. Urgensi Maqashid

Sub dalil kebahasaan dalam usul fiqh dapat mencapai level maqasid melalui usulan sebagai berikut; pertama, bahwa implikasi dari maqasid (dilalah al-maqasid) harus ditambahkan kedalam implikasi kebahasaan dari nass. Meskipun demikian, secara relatif bisa diarahkan kepada implikasi yang lain. Tetapi bergantung pada situasi dan kepentingan maqasid itu sendiri. Kedua, kemungkinan dari kekhusunan (takhsis), ta’wil, dan naskh yang memiliki tiga tipe kriteria yang berbeda, yaitu kejelasan nash, nama, muhkam, nass, zahir, dan mufasar.

Maqasid karena itu, harus dibangun dari spesifikasi dan penafsiran. Oleh karena itu konsep nash harus diterapkan secara bertahap untuk difahami dalam rangka mencapai maqasid sebagai kemurahan hati dari hukum Islam. Maqasid merupakan ekspresi yang juga diputuskan pada validitas implikasi yang berlawanan. Hal ini diputuskan melalui perdebatan yang logis. Jika ada pertentangan dalil, maka tujuan tertinggi maqasid yang menjadi pertimbangan utama. Nash yang menjadi landasan hukum maqasid tertinggi selalu diekspresikan oleh nash yang umum dan lengkap, sebagai ketentuan umum, bukan didasarkan atas nass khusus atau tidak sempurna dari ayat yang bersifat individual. Oleh karena itu, ayat yang bersifat individual tidak dapat menghapus atau menjadi pertimbangan untuk kerangka kerja umum dari maqasid ini. Hubungan antara term berkualitas dan tidak berkualitas yang menangani kasus berbeda, yang terdapat pada sebuah materi pandangan yang berbeda, harus didefinisikan pada capaian maqasid yang tertinggi, daripada sekedar mempertimbangkan aspek kebahasaan dan aturan logika semata. Berikut merupakan ilustrasi model pengambilan maqasid dalam metode hukum Islam yakni:

  1. Istihsan dan Fath Dharai’

Selama ini, istihsan difahami sebagai upaya untuk memperbaiki metode qiyas. Menurut Jasser Auda, sebenarnya permasalahannya bukan terletak pada ‘illat (sebab), tetapi pada maqasidnya. Oleh sebab itu, Istihsan hanya dimaksudkan untuk mengabaikan implikasi qiyas dengan menerapkan maqasid-nya secara langsung. Sebagai contoh: Abu Hanifah mengampuni (tidak menghukum) perampok, setelah ia terbukti berubah dan bertaubat berdasarkan Istihsan, meskipun ‘illat untuk menghukumnya ada. Alasan Abu Hanifah, karena tujuan dari hukum adalah mencegah seseorang dari kejahatan. Kalau sudah berhenti dari kejahatan mengapa harus dihukum?.

Contoh ini menunjukkan dengan jelas, bahwa pada dasarnya istihsan diterapkan dengan memahami “maqasid” melalui metode lain yang menjadi pilihannya. Disamping itu, sejumlah pengikut Imam Maliki juga mengusulkan penerapan Fath Dharai’ di samping Sadd Dharai’. Al-Qarafi menyarankan, jika sesuatu yang mengarah ke tujuan yang dilarang harus diblokir (sadd Dharai’) maka semestinya sesuatu yang mengarah ke tujuan yang baik harus dibuka (fath Dharai’). Untuk menentukan peringkat prioritas harus didasarkan pada maqasid. Dengan demikian, dari kalangan Maliki ini, tidak membatasi diri pada sisi konsekwensi berfikir negatif saja, tetapi memperluas ke sisi pemikiran positif.

  1. Problem Urf dan Istishab

Ibn Ashur menulis Maqasid Shari’ah dalam pembahasan ‘urf, yang ia sebut sebagai “Universitas Hukum Islam”. Dalam tulisan itu, ia tidak menerapkan ‘urf pada sisi riwayat, melainkan lebih pada maqasid-nya. Ringkasan argumen Ibn Ashur adalah hukum Islam harus bersifat universal, sebab ada pernyataan, hukum Islam dapat diterapkan kepada semua kalangan, dimanapun dan kapanpun,sesuai dengan pesan yang terkandung dalam sejumlah ayat al-Wur’an dan hadist. Memang Nabi berasal dari bangsa Arab, yang saat itu merupakan kawasan yang terisolasi dari dunia luar, yang kemudian berinteraksi secara terbuka dengan dunia luar. Agar tidak terjadi kontradiksi, maka sudah semestinya pemahaman tradisi lokal tidak dibawa ke kancah tradisi internasional. Jika demikian maka kemaslahatan tidak dapat digapai dan sesuai dengan maqasid Shari’ah. Oleh sebab itu, kasus-kasus tertentu dari ‘urf tidak boleh dianggap sebagai peraturan universal. Ibn Ashur mengusulkan sebuah metode untuk menafsirkan teks melalui pemahaman konteks budaya Arab saat itu. Demikian, Ibn Ashur membaca riwayat dari sisi tujuan moral yang lebih tinggi, daripada membacanya sebagai norma yang mutlak.

Sementara itu, prinsip istishab adalah bukti logis (dalilun ‘aqliyyun). Tetapi, penerapan prinsip ini harus sesuai dengan maqasid-nya. Misalnya, penerapan “praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah” (al-aslu Bara’at al-Dhimmah), maqasid-nya adalah untuk mempertahankan tujuan keadilan. Penerapan “praduga kebolehan sesuatu sampai terbukti ada dilarang (al-aslu fi al-ashya’i al-Ibahah hatta yadullu al-dalil ‘ala altahrim maqasid-nya untuk mempertahankan tujuan kemurahan hati dan kebebasan memilih.

H. Epilog

Berdasarkan hasil kajiannya, Jasser Auda berhasil memetakan pemikiran hukum Islam pada tiga titik episentrum utama yakni kelompok tradisionalis, kelompok modernis, dan kelompok post-modernis. Ketiga kelompok ini dipandang belum mampu menjawab persoalan kebutuhan umat Islam secara kontemporer dengan tepat. Pengaruh ketiga pemikiran kelompok justru cenderung menggiring pemaknaan hukum Islam dalam arti parsial, apriori dan kaku hanya tertuju pada verbalitas teks-teks al-Quran dan bunyi hadist. Dalam perkembangannya, ia menawarkan sebuah terobosan teori baru dalam dimensi metodologi ijtihad yang lazim dikenal sebagai implementasi konsep maqasid al-shari’ah tersebut. Dia lalu menawarkan sebuah model pendekatan holistik terhadap penegakan aturan-aturan Islam dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial, penghormatan terhadap HAM, penghargaan terhadap kemajemukan ummat dengan nilai yang diyakini masing-masing dengan penggunaan aspek etika dan moral. Inilah serpihan-serpihan makna dari model maqasid alshari’ah yang digagas oleh Jasser Auda tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa model pendekatan sistem maqasid alshari’ah versi Jasser Auda ini ditempuhi dalam beberapa fase dan etape pemikiran yaitu melakukan validasi terhadap semua pengetahuan kita terhadpa makna dibalik sistem secara universal. Kemudian dilanjutkan dengan merekonstruksi pemikiran sistem Islam dengan penggunaan prinsip-prinsip yang lebih fleksibel, non diskriminatif, dan holistik terhadap semua persoalan kehidupan berdimensi duniawi maupun ukhrawi.****

kingfaisalsulaiman.com