Yogyakarta.  Perintah membaca (iqra’) tidak hanya menjadi penanda bagi turunnya ayat pertama al-Quran. Semangat iqra’ ini juga menjadi syarat bagi suatu peradaban untuk bisa maju dan berkembang.  Bagi Islam, iqra’ tidak hanya sekedar membaca. Dalam pandangan Imam al-Ghazali “membaca” yang dapat mengantarkan pembacanya pada tingkat al-hakim atau orang yang mampu mengambil hikmah, meniscayakan tiga indra bekerja secara sekaligus, yaitu: lisan, akal, dan qalb (hati). Budaya membaca yang melibatkan tiga indra inilah yang menurut Ismail Raji al-Faruqi dapat membawa ke arah perubahan sosial umat.

Berbicara tentang budaya membaca, beberapa waktu lalu dalam sebuah kesempatan, Muhammad Rofiq (wakil sekretaris Majelis Tarjih PP Muhammadiyah) berdiskusi ringan dengan Jasser Auda terkait persoalan tersebut. Menurut pakar makasid itu, kebiasaan membacanya sudah dimulai sejak ia kecil karena terinspirasi dari ayahnya.

“Ayah saya adalah seorang pembaca sejati. Setiap malam ia tidak akan tidur sebelum membaca satu buku. Dia mempunyai perpustakaan pribadi yang besar, yang kemudian hari buku-buku itu diberikan pada salah satu perpusatakan umum di Kairo,” ungkap Jasser Auda.

Budaya membaca Jasser Auda terus meningkat seiring bertambahnya usia. Ia mengaku memiliki banyak sekali buku, baik dalam bentuk buku asli maupun buku elektronik.

“Saya juga memiliki kebiasaan membaca satu buku atau lebih setiap hari, pada hari-hari biasa. Saya juga dulu pernah mengikuti pelatihan proefesional untuk membaca cepat. Ada beberapa teknik membaca cepat yang bisa kamu lakukan. Tentu ketika saya tahu bahwa buku yang saya baca adalah buku penting, maka saya akan membacanya dengan hati-hati dan teliti. Tapi tidak semua buku. Perlu satu sampai tiga jam untuk membaca satu buku dengan cepat. Pertama-tama yang perlu kamu lakukan adalah melihat daftar isinya, kemudian baca sepintas  bab-bab dari buku itu. Lalu kamu fokus pada ringkasan atau abstrak, pengantar dan topik utama dari buku tersebut. Setelah itu, jika tertarik, kamu harus membaca masing-masing bab dari buku itu, bagian perbagian,” jelas pendiri Maqasid Institute itu.

Dalam hal membaca, Jasser Auda juga tidak menutup diri dari buku-buku tertentu. Dia membaca semua genre buku, mulai dari filsafat, psikologi, sejarah, kedokteran, seni dan yang lainnya. Kebiasaan membaca buku itu juga coba ia tularkan kepada anak-anaknya.

“Ya, saya menganjurkan anak-anak saya sejak kecil untuk membaca. Saya mengajak mereka secara rutin ke toko buku untuk memilih buku-buku yang mereka ingin baca, dari semua jenis buku,” terang Jasser Auda.

Hal menarik yang disampaikan Jasser Auda dalam kesempatan itu adalah tentang sumber pengetahuan. Menurutnya pengetahuan yang selama ini ia dapat tidak hanya dari membaca.

“Salah satu sumber pengetahuan saya yang lain adalah traveling. Ini adalah sumber pengetahuan kedua saya setelah membaca. Ketika saya menghabiskan waktu berminggu-minggu di Indonesia seperti sekarang ini misalnya, saya belajar banyak hal. Bahkan lebih banyak dari hanya saya membaca melalui buku. Saya belajar tentang makanan, kebiasaan orangnya, budaya dan bagaimana masyarakat Indonesia hidup dalam lingkungan agama Islam. Sebagai contoh saya pergi ke masjid dan belajar sejarahnya, kemudian mendengarkan khutbah dalam bahasa Indonesia, bertemu dengan para sarjana dari berbagai fakultas di kampus-kampus dan tentunya saya belajar dari mereka. Jadi, traveling adalah satu sumber pengetahuan lain yang Allah juga jelaskan dalam al-Quran. Pertama melalui kata “iqra’ (bacalah)”. Perintah membaca di sini tentu dalam makna yang luas. Kedua melalui kata “fasiru fi al-ardh (bertebaranlah kamu di muka bumi)”. Dalam ayat ini Allah meminta kita untuk mengujungi banyak tempat,” jelas Jasser Auda yang sebelum kedatanganya ke Indonesia telah terlebih dahulu singgah di Malaysia dan Singapura.

Dalam kesempatan itu Muhammad Rofiq meminta Jasser Auda menceritakan kebiasaannya membaca dan menghafal al-Quran. Sama seperti budaya membaca buku, budaya membaca al-Quran juga telah ditanamkan ayahnya kepada Jasser Auda semenjak ia kecil.

“Saya mulai membaca dan menghafal al-Quran sejak kecil, saat saya masih di Kairo. Saya belajar bagaimana membaca dan menghafal al-Quran di masjid al-Azhar, di mana orang tua saya tinggal dekat dari masjid itu. Dan sekarang saya mencoba menjaga hafalan al-Quran saya dengan cara mendengar dan mengulang-ulang setiap surat yang saya hafalkan. Tapi menurut saya, cara terbaik untuk menjaga al-Quran adalah dengan memahaminya. Karena memahami al-Quran merupakan langkah penting untuk menghafalnya. Seseorang mungkin sering bingung tentang pengulangan kata dan kalimat tertentu (al-Mutasyabihat) dalam al-Quran, tapi kita bingung karena kita tidak paham. Ketika kita memahaminya dengan baik, maka kita akan tahu mengapa Allah mengatakan tentang suatu ayat atau cerita tertentu dalam suatu surat, lalu kemudian mengatakan demikian dengan redaksi yang berbeda dalam surat-surat yang lain, sebagai contoh,” ungkap Jasser Auda.

Jaser Auda adalah seorang ulama kontemporer asal Mesir namun sudah menjadi warga negara Kanada. Karya-karyanya di bidang Makasid Syariah telah diterjemahkan ke puluhan bahasa dunia dan menjadi karya berpengaruh di kalangan peminat studi Islam.

Cerita Jaser Auda tentang Kebiasaan Membaca dan Traveling