MAQASHID SYARI’AH SEBAGAI SISTEM DAN METODE
ISTINBATH HUKUM
(Analisis Pendekatan Filsafat Sistem Jasser Auda)
Oleh: Zuriah, S.Sy
Mahasiswa Magister Studi Islam Kosentrasi Hukum Islam Pada Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (ALUMNI FSH UIN AR-RANIRY BANDA ACEH)
email: zuriah27@gmail.com
Abstrak
Tulisan ini mencoba mengeksplorasi tentang penggunaan dalil Maqashid Syari’ah secara holistik sebagai sistem dan metode dalam istinbath hukum. Hukum Islam bagi Jasser Auda harus mampu memberikan jawaban atas problem kontemporer khususnya permasalahan-permasalahan sosial kemanusiaan bukan justru sebaliknya. Pembaharuan terhadap maqashid syari’ah sebagai suatu metode istinbath hukum melalui sebuah terobosan hukum yang disebutnya dengan pendekatan filsafat sistem ini dianggap sebuah metode yang kini penting untuk dilirik oleh para ulama ushul di abad Neo Postmodern saat ini. Menurut Jasser Auda konsep maqashid syariah kontemporer tidak lagi berkutik kepada penjagaan (hifdz) semata melainkan lebih kepada pengembangan terhadap panca lima maqashid syari’ah. Inilah yang menjadi titik tolak pemikiran hukum Islam Jasser Auda makin kukuh dan memanjang dari horison kesetaraan religius (musawwah diniyah) ke arah horizon kesetaraan sosial (musawwah ijtima’iyah). Pemikiran fiqih Islam secara preskriptif ini bertujuan menggali norma-norma Islam dalam tatanan das sollen, yaitu norma-norma yang dipandang ideal untuk dapat mengatur tingkah laku manusia dan menata kehidupan bermasyarakat yang baik.
Keywords: Maqashid Syari’ah, Jasser Auda, Filsafat Sistem
- Pendahuluan
Kompleksitas ranah historis manusia dengan berbagai wacana, model, dan aktivitas yang mengitarinya yang setiap hari berubah dan bahkan tampak pelik seakan tidak tertampung dalam nilai/norma hukum yang ada dalam nash (Qur’an-Sunnah) saat ini. Tatanāhā al-nushus walā tatanāhā al-waqā‘i (wahyu sudah tidak lagi diturunkan, sementara peristiwa/kebutuhan hukum terus berkembang) sehingga mengharuskan para mujtahid (cendikiawan/pakar hukum) untuk dapat melakukan ijtihad dalam rangka pembaharuan (reformasi) terhadap hukum itu sendiri.
Pemikiran fiqih Islam secara preskriptif ini bertujuan menggali norma-norma Islam dalam tatanan das sollen, yaitu norma-norma yang dipandang ideal untuk dapat mengatur tingkah laku manusia dan menata kehidupan bermasyarakat yang baik.[1]
Menurut istilah Harold J. Berman[2] perubahan hukum menunjukan pada pengertian bahwa hukum selalu mengalami pertumbuhan. Dalam pertumbuhannya, hukum berinteraksi dengan sektor-sektor kehidupan sosial manusia secara sistemik.[3]
Di antara para pemikir muslim kontemporer yang menaruh concern pada reformasi atau perubahan hukum dalam kerangka berfikir filsafat hukum Islam (usul al-fiqh) adalah Jasser Auda, yang menggunakan maqashid syari’ah sebagai basis pangkal tolak filosofi berpikirnya dengan menggunakan pendekatan sistem sebagai metode berfikir dan pisau analisisnya.[4] Al- Maqashid adalah sistem sekaligus pendekatan yang dinamis dalam hukum Islam.[5]
Kegelisahan intelektual Jasser Auda juga terkait dengan ketidak berdayaan hukum Islam yang dirumuskan para ulama dalam fiqh klasik dinilai sudah tidak relevan untuk menjawab tantangan zaman dan perkembangan kemajuan modern. Pendekatan holistik-humanistik[6] dalam filsafat sistemnya merupakan grand desain dari metode-metode yang ia sarankan.
Pembaharuan terhadap maqashid syari’ah sebagai suatu metode istinbath hukum melalui sebuah terobosan hukum yang disebutnya dengan pendekatan filsafat sistem dianggap sebuah metode yang kini penting untuk dilirik oleh para ulama ushul di abad neo postmodern saat ini. Inilah yang menjadi titik tolak pemikiran hukum islam Jasser Auda makin kukuh dan memanjang dari horison kesetaraan religius (musawwah diniyah) ke arah horizon kesetaraan sosial (musawwah ijtima’iyah).
Menurut Jasser Auda konsep maqashid syariah kontemporer tidak lagi berkutik kepada penjagaan (hifdz) semata melainkan lebih kepada pengembangan terhadap panca lima maqashid syari’ah.
Hukum Islam bagi Jasser Auda harus mampu memberikan jawaban atas problem kontemporer khususnya permasalahan-permasalahan sosial kemanusiaan. Bukan justru berseberangan sebagaimana akhir-akhir ini wajah Islam ditampilkan dengan wajah terorisme, gemar berperang, saling bermusuhan, tidak toleran, fanatik dan fundamentalis serta terkesan bahwa kualitas hidup atau sumber daya umat Islam dengan tingkat capaian HumanDevelopmen Indexs (HDI) yang rendah.
Pendekatan sistem oleh Auda dilakukan melalui beberapa langkah yaitu: pertama, mem-valid-kan semua pengetahuan, kedua, menggunakan prinsip-prinsip holistik, ketiga, keberanian membuka diri dan melakukan pembaharuan, keempat, mengukur qat’i dan ta’arud dari sisi ketersediaan bukti pendukung dan penentuan skala prioritas berdasarkan kondisi sosial yang ada bukan dari verbalitas teks-teks keagamaan, dan kelima, mengambil maqashid (Tujuan utama disyari’atkan hukum Islam terhadap mukallaf) sebagai metode penetapan hukum Islam.[7]
Langkah-langkah di atas dioptimalkan Jasser Auda sebagai pisau analisis ke dalam enam dimensi yaitu: Dimensi kognisi dari pemikiran keagamaan (cognition), kemenyeluruhan (wholeness), keterbukaan (oppenes), hirraki berfikir yang saling mempengaruhi (interrelated hierarchy), berpikir keagamaan yang melibatkan berbagai dimensi (multidimensionality) dan kebermaksudan (purposefulness). Keenam fitur tersebut sangat saling erat berkaitannya, saling menembus (semipermeable) dan berhubungan satu dan lainnya, sehingga membentuk keutuhan sistem berpikir. Namun, satu dimensi (fitur) yang menjangkau semua fitur yang lain dan merepresentasikan inti metodelogi analisis sistem adalah fitur ‘kebermaksudan’ (maqashid).
Namun pertanyaannya, bagaimana sebenarnya teori Hukum Islam Kontemporer Ala Jasser Auda? Bagaimana implikasi maqashid Syari’ah analisis sistem sebagai metode istnbathul al-ahkam? Pertanyaan-pertanyaan permasalahan ini akan coba dijawab dalam paper singkat yang disertai dengan pengaplikasian metode dalam contoh istinbath hukum.
Dalam kaitan ini di bawah ini dijelaskan pembacaan kritis terhadap maqashid syari’ah dengan menggunakan analisis filsafat sistem.
- Sekilas tentang Biografi Jasser Auda
Jasser Auda adalah Associate Professor di Fakultas Studi Islam Qatar (QFTS) dengan fokus kajian Kebijakan Publik dalam program Studi Islam. Dia adalah anggota pendiri Persatuan Ulama Muslim Internasional, yang berbasis di Dublin; anggota Dewan Akademik Institut Internasional Pemikiran Islam di London, Inggris; anggota Institut Internasional Advanced Sistem Research (IIAS), Kanada; anggota pengawas Global Pusat Studi Peradaban (GCSC), Inggris; anggota Dewan Eksekutif Asosiasi Ilmuan Muslim Sosial (AMSS), Inggris; anggota Forum perlawanan Islamofobia dan Racism (FAIR), Inggris dan konsultan untuk Islamonline.net.[8]
Ia memperoleh gelas Ph.D dari university of Wales, Inggris, pada konsentrasi Filsafat Hukum Islam tahun 2008. Gelar Ph.D. yang kedua diperoleh dari Universitas Waterloo, Kanada, dalam kajian Analisis Sistem tahun 2006. Master Fiqh diperoleh dari Universitas Islam Amerika, Michigan, pada fokus kajian Tujuan Hukum Islam (Maqasid al-Syari’ah) tahun 2004. Gelar B.A. diperoleh dari jurusan Islamic Studies pada Islamic American University, USA, tahun 2001 dan gelar B.Sc diperoleh dari Engineering Cairo University, Egypt Course Av., tahun l988. Ia memperoleh pendidikan al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam di Masjid al-Azhar, Kairo.
Jasser Auda adalah direktur sekaligus pendiri Maqasid Research Center di Filsafat Hukum Islam di London, Inggris, dan menjadi dosen tamu untuk fakultas Hukum Universitas Alexandria, Mesir, Islamic Institute of Toronto, Kanada dan Akademi Fiqh Islam, India. Dia menjadi dosen mata kuliah Hukum Islam, Filsafat, dan materi yang terkait dengan isu-isu minoritas Muslim dan Kebijakan di beberapa negara di seluruh dunia.
Dia adalah seorang kontributor untuk laporan kebijakan yang berkaitan dengan minoritas Muslim dan pendidikan Islam kepada Kementrian Masyarakat dan Dewan Pendanaan Pendidikan Tinggi Inggris, dan telah menulis sejumlah buku, yang terakhir dalam bahasa Inggris, berjudul Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: A Sistems Approach (London: IIIT, 2008). Tulisan yang telah diterbitkan 8 buku dan ratusan tulisan dalam bentuk jurnal, tulisan media, kontribusi tulisan di buku, DVD, ceramah umum, dan jurnal online yang tersebar di seluruh dunia. Selain itu, banyak penghargaan yang telah ia terima.[9]
Dari biografi di atas, tergambar bagaimana seorang Jasser Auda bergumul dalam ijtihad dan jihad berpikir untuk memperbaharui dan mereformasi hukum Islam tradisional. Baginya, setiap klaim yang menyatakan bahwasanya pintu ijtihad tidak tertutup atau membuka pintu ijtihad adalah merupakan suatu keharusan mengalami jalan buntu (Intellectual impasse) karena menurutnya belum tergambar secara jelas bagaimana metode dan pendekatan yang digunakan dan bagaimana aplikasi dan realisasinya di lapangan.
- Historitas dan Epistemologi Maqashid
Hampir semua ulama Ushul kontemporer, termasuk Ibnu ‘Asyur, bersepakat bahwa Imam al-Syathibi adalah Bapak maqashid al-syari‘ah pertama sekaligus peletak dasarnya. Namun itu tidak berarti bahwa sebelum beliau, ilmu Maqashid tidak ada. Imam al-Syathibi lebih tepat disebut orang pertama yang menyusunnya secara sistematis.
Kata maqashid al-syari’ah, dalam pandangan Ahmad Rasyuni, pada mulanya digunakan oleh al-Hakim. Gagasannya tentang maqashid al-syari’ah dituangkan ke dalam karyanya-karyanya: ash-shalah wa maqashiduh, al-Haj wa Asraruh, al-‘Illah, ‘ilal asy-syari’ah, ‘ilal al-‘Ubudiyyah, dan al-Furuq. Menurut Jasser Auda Istilah al-Maqāṣid adalah bentuk jamak dari kata bahasa Arab ‘maqṣid’, yang menunjuk kepada tujuan, sasaran, hal yang diminati, atau tujuan akhir. Istilah ini dapat disamakan dengan istilah ’ends’ dalam bahasa Inggris ‘telos’ dalam bahasa Yunani, ’finalité’ dalam bahasa Perancis, atau ’Zweck’ dalam bahasa Jerman. Adapun dalam ilmu Syariat, al–Maqāṣid dapat menunjukkan beberapa makna seperti al-hadaf (tujuan), al-garaḍ (sasaran), almaṭlūb (hal yang diminati), ataupun al-gāyah (tujuan akhir) dari hukum Islam.[10]
Dari pihak lain, sebagian ulama Muslim menganggap al-Maqāṣid sama dengan alMaṣāliḥ (maslahat-maslahat) seperti ‘Abdulmalik al-Juwaynī (w: 478H/1185M). Al-Juwaynī termasuk ulama pertama yang memulai pengembangan teori al-Maqāṣid. Al-Juwaynī menggunakan isitlah al-Maqāṣid dan al-Maṣāliḥ al-‘āmmah (maslahat-maslahat publik) sebagai sinonim. Kemudian, Abū Ḥāmid al-Gazālī (w: 505H/1111M) menyusul dengan membangun atas karya al-Juwaynī dengan mengklasifikasi al-Maqāṣid dan memasukkannya di bawah kategori al-Maṣāliḥ al-Mursalah (Kemaslahatan lepas, atau maslahat-maslahat yang tidak disebut secara langsung dalam teks suci).
Fakhruddīn al-Rāzī (w: 606H/1209M) dan al-Āmidī (w: 631H/1234M) mengikuti alGazālī dalam peristilahannya. Kemudian, Najmuddīn al- Ṭuufī (w: 716H/1316M) mendefinisikan al-Maṣāliḥ sebagai “sebab yang mengantarkan kepada maksud al-Syāri‘ (Pembuat arahan-arahan Syariat: Allah (SWT) dan RasulNya SAW). Adapun al-Qarāfī (w: 1285H/1868M), yang meletakkan kaidah: “Lā yu‘tabaru al-Syar‘u min al-Maqāṣid illā māta‘allaqa bihi garaḍun ṣaḥiḥun, muḥaṣilun li-maṣlaḥatin aw dari’un li-mafsadatin” yang artinya: “Suatu bagian dari hukum Islami, yang didasari oleh Syariat, tidak dapat dianggap sebagai al-Maqāṣid, kecuali tersangkut padanya sebuah sasaran yang sah, yang dapat meraih kemaslahatan atau mencegah kemafsadatan”. Kutipan itu bermakna bahwa tujuan apapun yang termasuk al-Maqāṣid, tidak lain, adalah untuk menyatakan kemaslahatan manusia (mendatangkan manfaat dan/atau mencegah mafsadat).
Menurut sebahagian ulama dan sejarawan hukum Islam menyebutkan bahwa dalam perkembangan selanjutnya muncul ‘ulama yang mencurahkan perhatiannya pada kajian tentang maqashid al-syari’ah, seperti Abu Mansur al-Maturidi (w.333 H.) yang menulis “Ma’khadz al-Syari’ah, Abu Bakar al-abhari (w.375 H.) dengan karyanya seperti “Mas’alah al-Jawab wa ad-Dala’il wa al ‘Illah”, Al-Baqillani (w.403 H.) yang menulis tentang “ al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Thuruq al-Ijtihad”. Setelah itu, semakin bertambah ulama yang membahas tentang tema ini, di antaranya: Al-Juwaini (w.478 H.), al-Ghazali (w.505 H.), ar-Razi (w.606 H.), al-Amidi (w.613 H.), al-Qarafi (w.648 H.), al-Thufi (w.716 H.), ibn Qayyim al-Jauziy (w.751 H.).[11]
Berbeda dengan Ahmad Rasyuni dan Yusuf al-Badawi, Hamdani al-Ubaydi menyatakan bahwa orang yang pertama membahas masalah maqashid al-syari’ah adalah salah seorang tabi’in yang bernama Ibrahim an-Nakhaiy (w.91 H.). Hammadi al-Ubaydi menjelaskan bahwa Ibrahim an-Nakhaiy pernah berkata “bahwa sesungguhnya hukum-hukum Allah memiliki tujuan, hikmah, dan mashlahat untuk manusia”. Sebagai landasan pemikirannya, Ibrahim mengunakan sejumlah ayat, di antaranya adalah Q.S. al-Baqarah/2:22.[12]
Setelah Ibrahim an-Nakhai, muncul al-Gazali. Dalam karya al-Gazali, ia menawarkan teori al-Kulliyat al-Khams al-Dharuriyyah yang menjadi dasar dari maqashid al-syari’ah. Selain itu, ia juga memberikan perhatian secara khusus pada mashlahat pada pembahasan tesendiri di bawah judul al-Istishlah. Setelah al-Gazali muncul ‘Izz ad-Din ibn ‘Abd. as-Salam yang membagi hukum dari sisi mashlahat menjadi dua bagian, yaitu ibadah dan muamalah. Hukum ibadah merupakan hukum-hukum ta’abbudiy yang wajib diamalkan sebagaimana digariskan tanpa memperhatikan alasan-alasan rsional yang terkandung di dalamnya. Sedangkan hukum-hukum muamalah boleh jadi ditemukan alasan-alasan rasionalnya jika akal mampu menemukannya.[13]
Selanjutnya Najm ad-Din at-Thufi adalah generasi sesudah ‘Izz ad-Din yang hadir dengn tawaran rumusan Maqashid al-Syari’ah dengan istilah al-Mashalih al-Syari’ah. Abd. Wahab Khallaf menguraikan bahwa istilah yang digunakan oleh at-Thufi berbeda dengan al-Mashalih al-Mursalah yang digunakan oleh imam Malik. Mashalih mazhab Malikiyah digunakan sebagai sumber pengambilan hukum setelah al-Qur’an, Sunnah, ijma, qiyas, sementara at-Thufi meletakkannya di atas empat sumber tersebut.[14]
Analisis secara spesifik mengenai maqashid al-syari’ah ditulis oleh Asy-Syatibiy dalam kitabnya al-Muwafaqat pada juz II. Asy-Syatibiy memperluas pembahasannya dengan tema-tema baru yang dihubungkan langsung dengan al-Qur’an, dan kajiannya tidak ditemukan pada karya-karya ulama sebelumnya.[15] Tema-tema tersebut di antaranya adalah mashlahat dan batasan-batasannya, teori qashd (tujuan) dalam perbuatan, niat dalam hukum dan maqashid, maqashid dan akal, maqashid dan ijtihad, serta tujuan umum dari maqashid.[16]
Rumusan asy-Syatibi dipandang lebih sistematis dan lengkap jika dibanding dengan rumusan-rumusan para ulama sebelumnya. Rumusannya dinilai telah mengilhami ulama sesudahnya seperti Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Abdullah Darraz, Muhammadat-Thahir ibn Asyur Allal al-Fasi. Muhammad Abduh, adalah orang yang pertama mengumumkan pentingnya ulama-ulama dan para mahasiswa Timur Tengah untuk mempelajari karya-karya asy-Syatibiy terutama al-Muwafaqat.
Urutan sistematika maqashid imam al-Syatibi bersifat ijtihadi bukan naqli. Artinya, ia disusun berdasarkan pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil dengan cara istiqrar (nalar induktif). Dalam merangkai al-kulliyat al-khams, al-syatibi terkadang mendahulukan ‘aql dari pada nasl, terkadang nasl terlebih dahulu daripada nasl dan terkadang nasl lalu mal dan terakhir ‘aql.[17]
Demikian juga dengan muridnya, Rasyid Ridha, yang tidak hanya terpengaruh olah maqashidnya al-Syatibi, tetapi juga terpengaruh juga dengan istihsannya demi menghidupkan kembali harakah salafiyah yang sudah lama didiusung oleh Rasyid Ridha. Hal ini juga terjadi pada ibn ‘Asyur, (‘ulama asal Tunisia) telah menulis sebuah buku yang berjudul Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah, dengan cakupan pembahasan secara utuh hampir sama dengan al-Muwafaqat Asy-Syatibi.
- Teori Hukum Islam Kontemporer Jasser Auda
Jika kita berdiskusi tentang hukum Islam di dunia Islam pada umumnya berkisar pada isu Syari’ah, Usul al-Fqh dan Fiqh, maka Jasser Auda mengambil jalan lain. Dia tetap menekankan pentingnya ketiga isu penting tersebut, tetapi dia menggeser paradigma pendekatannya lewat pintu masuk Maqasid yang diperbaharui. Tidak hanya teori, metode dan pendekatan fiqh Tradisonal dan fiqh Modern yang dicermati, melainkan juga teori, metode dan pendekatan fiqh Postmodern juga aplikasikan, dengan berbagai cacatan kritis sudah menjadi keniscayaan dalam dunia akademika.
Maqasid al-Syariah (filsafat hukum Islam) menjadi pangkal tolak berpikir dan analisisnya yang pokok untuk pengembangan pemikiran hukum Islam pada era globalisasi dan perubahan sosial saat sekarang ini. Bukunya yang berjudul Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach merupakan pesan yang jelas-tegas menggambarkan bagaimana ide pembaharuan hukum Islam dan epistemologinya akan dirumuskan kembali dan ke mana hendak dituju.
Sebagaimana kita pahami bahwa kegiatan dalam filsafat yaitu berupa perenungan-perenungan sedalam-dalamnya untuk sampai kepada intinya. Dengan hasil renungan kita dapat merasakan hikmah hidup yang lebih sadar sebagai manusia.[18] Dengan kebiasaan kita melihat dan menganalisis persoalan-persoalan yang terjadi dalam filsafat menyebabkan kita lebih cerdas dan tangkas dalam menyelesaikan memecahkan problematika kehidupan sehari-hari artinya filsafat mengajarkan dan melatih kita untuk berpandangan luas atau tidak picik dalam memandang dunia.
Jasser Auda membagi tingkatan otoritas (hujjiyyah) pada dua level tertinggi dan terendah. Yang tertinggi adalah hujjah (proof) dan yang terendah adalah kritik secara radikal atau batil (unsound). Diantara dua level ini terdapat lima tingkatan yang bertingkat sesuai dengan otoritas level hujjah, yaitu hujjah (proor), penafsiran apologetik (apologetic interpretation), Penafsiran/ta’wil (interpreted/mu’awwal), dalil isti’nas (supportive evidence), kritis minor (minor criticism/fihi shai’), dan penafsiran radikal (radical re-interpretation), dan kritik radikal (void/batil). Tingkatan otoritas dalil ini, dengan pendekatan multi dimensional terjadi perubahan dengan dua kategori biasa dari otoritas hujjah kepada level kategori yang beragam. Perubahan tersebut secara sistematis menurun dari level hujjah tertinggi kepada radikal kritik. Gambar berikut mengilustrasikan perubahan tersebut.[19] Gambar 1: Spektrum tingkatan nilai otoritas hujjiyah dari hujjah ke batil.
Hujjah | Interpretasi apologis | Mu’awwal | UntukIsti’nas | Fihi sya’i | Interpretasi radikal | Batil |
Sprektum tingkatan nilai otoritas hujjiyah yang dipaparkan Auda di atas adalah salah satu contoh dari upaya yang dilakukan untuk menghasilkan pengetahuan yang kreatif (creative knowledge).[20] Ini hanya diperoleh jika seseorang telah mampu menginternalisasikan sikap etis al-Quran pada bidang-bidang garap yang kreatif dan dengan demikian maka menghasilkan ilmu pengetahuan yang baru.
- Implikasi Maqashid Syari’ah Analisis Sistem Sebagai Metode Istnbathul Al-Ahkam
Jasser Auda menggunakan istilah A Systems Approach dalam bukunya. Dalam bahasa keilmuan Islam tradisional biasa disebut al-Tariqah (Metode), sehingga sangat popular pembedaan antara al-Maddah (Materi) dan al-Tariqah (Metode). Lalu, dikenal sebagai adagium al-Tariqah ahammu min al-Maddah (Metode pembelajaran lebih penting dari pada materi pembelajaran). Penekanan pada Approaches memang diperlukan persyaratan yang lebih dari persyaratan yang biasa berlaku dalam Metode.
Dalam Approaches terkandung syarat yang tidak tertulis bahwa seseorang, baik guru, dosen, da’i dan leaders of influence yang lain harus bersedia melakukan penelitian (research) dan studi perbandingan (comparasion) dengan cara melibatkan disiplin ilmu-ilmu dan pengalaman-pengalaman bidang lain untuk membangun kemampuan berkreasi dan melakukan inovasi. Begitu juga bidang hukum Islam dan bidang-bidang ilmu keislaman yang lainnya, persyaratan tersebut berlaku sepenuhnya. Agar mengetahui pesan hukum maka perlu perbedaan mendasar lainnya antara dua konsep yang bertentangan tapi saling melengkapi.[21]
Setidaknya, ada 2 (dua) Approaches yang perlu dikuasi sekaligus secara profesional, yaitu pertama, Approaches yang berhubungan erat dengan dimensi waktu dan kesejarahan dan kedua, Approaches yang berhubungan erat dengan konsep dan pemikiran kefilsafatan. Dalam hal yang terkait dengan dimensi waktu dan kesejarahan, ada 3 (tiga) lapis kunci pintu untuk mempelajari dan menganalisis pemikiran hukum Islam dalam upaya untuk membuka pintu ijtihad kontemporer, yaitu kunci pintu teori hukum era tradisional, kunci pintu teori hukum era modern dan terakhir adalah kunci pintu teori hukum era Postmodern.[22]
Dengan menggunakan metode perbandingan sejarah dan pemikiran hukum Islam yang teliti, ketiga kunci pintu pisau bedah analisis sejarah dan pemikiran hukum Islam tersebut digunakan semua oleh Jasser Auda untuk membuka horison berpikir dan kemungkinan membangun bangunan epistemologi keilmuan Islam baru di era kontemporer dalam menghadapi globalisasi. Berbeda dari teori Post–Modernism yang biasa digunakan oleh para pemikir Muslim kontemporer, Jasser Auda lebih menekankan pada aspek pendekatan atau Approaches yang lebih bersifat “multi-dimensional” (Multi-dimensional) dan pendekatan yang lebih “utuh-menyeluruh” (Holistic approach).[23]
Sebagai pisau analisis pendekatan system dioptimalkan Jasser Auda ke dalam enam dimensi yaitu: Dimensi kognisi dari pemikiran keagamaan (cognition), kemenyeluruhan (wholeness), keterbukaan (oppenes), hirraki berfikir yang saling mempengaruhi (interrelated hierarchy), berpikir keagamaan yang melibatkan berbagai dimensi (multidimensionality) dan kebermaksudan (Purposefulness). Ke enam fitur tersebut sangat saling erat berkaitannya, saling menembus (semipermeable) dan berhubungan satu dan lainnya, sehingga membentuk keutuhan sistem berpikir. Namun, satu dimensi (fitur) yang menjangkau semua fitur yang lain dan merepresentasikan inti metodelogi analisis sistem adalah fitur ‘kebermaksudan’ (maqashid).
Maqasid al-Syariah menjadi pangkal tolak berpikir dan analisisnya yang pokok untuk pengembangan pemikiran hukum Islam pada era globalisasi dan perubahan sosial saat sekarang ini. Teori Maqasid sebenarnya bukanlah barang baru dalam dunia berpikir hukum Islam. Kulliyyat al-Khams nya al-Syatibi sangatlah popular di dunia Usul al-Fiqh dan Fiqh dalam pemikiran hukum Islam. Tapi, Jasser Auda mengajukan pertanyaan penting yang ditujukan ke umat Islam yang hidup di era sekarang ini. Pertanyaan penting ini berbeda dari pertanyaan yang biasa diajukan oleh para pemikir hukum Islam pada umumnya. Jika Kulliyyat al-Khams al-Syatibi itu memang penting dan fungsional di era kontemporer saat ini, mengapa dalam dunia kenyataan sehari-hari di negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim justru masih miskin, tertinggal dari negara-negara lain yang dulunya juga sama-sama miskin? Laporan tahunan United Nation Development Programme (UNDP) menyebutkan bahwa Human Development Index (HDI) negara-negara yang berpenduduk Muslim masih rendah.
Rendah dalam tingkat literasi (Literacy), tingkat pendidikan (Education), partisipasi politik dan ekonomi, pemberdayaan wanita (women empowerment), belum lagi menyebut standar dan kualitas kehidupan yang layak. Pertanyaan kedua yang diajukannya adalah mengapa justru di negara-negara berpenduduk Muslim yang income per capita–nya cukup tinggi, justru tingkat distribusi keadilan, pemberdayaan wanita, partisipasi politik dan pemberian kesempatan yang sama untuk semua warganegaranya malah rendah?.[24]
Sebuah sistem harus memelihara suatu kadar keterbukaan (oppenes) dan pembaruan diri agar tetap hidup. Living systems mempertahankan keberadaannya dengan selalu mengkonservasi organisasi yang melahirkan keutuhan (unity). Perilaku sistem sosial secara empirik berbeda-beda, akibat tujuan yang berbeda, ada yang reaktif dalam rangka mempertahankan diri (self-maintaning); responsif (dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan) dan ada yang bersifat generatif bila dalam rangka pencapaian-pencapaian tujuan-tujuan yang bisa berubah sesuai pilihan bebas yang dimiliki (purposeful).[25]
Berdasarkan watak kognitif hukum Islam maka Jasser Auda berpendapat bahwa keberedaan ‘urf dalam ushul fiqh adalah apa yang dipandang (Word View) oleh seorang fakih sesuai dengan pandangan dunia nya terhadap permasalahan yang dialami oleh para mukallaf baik menyangkut tradisi (local wisdom/ al-‘adah) situasi dan kondisi para mukallaf itu sendiri. Karena suatu kasus terkait dengan nilai (value) satu sisi dan dengan realitas pada sisi yang lain, maka perlu adanya analisis holistik (wholeness).
Pada nilai (value) perlu pendekatan bayani dan burhani, keduanya inilah yang penting dipakai untuk memahami nash dan ‘urf (Word View). Untuk realitas diperlukan ilmu terkait seperti sains, medis, aritmatika, kalkulus, fisika dll. Semua diperlukan sebagai unit dalam sistem analisis.
Dengan adanya interaksi-interkoneksi multidispliner keilmuan tersebut maka jadilah pendekatan holistik sehingga terhindar dari menyederhanakan persoalan khususunya persoalan hukum Islam dan umat Islam itu sendiri. Artinya jalan yang pasti adalah memperbaharui cara pandang tentang makna-makna ajaran yang tertuang dalam syari’ah.[26] Berpikir sistem membantu kita memahami pola-pola interaksi yang saling berkaitan dan menguatkan atau merubahnya secara efektif. Intinya adalah berpikir dalam konteks keseluruhan (Wholeness), oppenes (terbuka), dan yang bisa jadi terkadang bertolak belakang dari berpikir ilmiah (berpijak pada teori lama).
Karena, perkembangan suatu ilmu tidak harus berjalan secara evolutif yang selalu berpijak pada teori lama, tapi bisa saja dengan cara revolutif yaitu tentang apa yang dibutuhkan dalam sistem masyarakat artinya dimana sama sekali tidak berpijak pada teori-teori yang telah ada sebelumnya, melainkan menawarkan sebuah paradigma yang sama sekali baru melalui pendekatan holistik yaitu pandangan yang tidak ditelaah dari satu perspektif saja (positivistik) yang dikenal dengan istilah atomistik.
- Penutup
Setelah membaca dan mengkaji pemikiran Jasser Auda terhadap maqashid syari’ah melalui karya besarnya yaitu pendekatan sistem, setidaknya penulis mempunyai beberapa kesan yang menjadi catatan penting ketika Jasser Auda menggunakan maqashid sebagai sistem dan metode Istinbatul Ahkam dengan tujuan untuk meniti hukum yang humanis.
Hukum Islam bagi Jasser Auda harus mampu memberikan jawaban atas problem kontemporer khususnya permasalahan-permasalahan sosial kemanusiaan. Karena suatu kasus hukum terkait dengan nilai (value) satu sisi dan dengan realitas pada sisi yang lain, maka perlu adanya analisis holistik (wholeness). Dengan adanya interaksi-interkoneksi multidispliner keilmuan maka jadilah pendekatan holistik sehingga terhindar dari menyederhanakan persoalan.
Berpikir sistem membantu kita memahami pola-pola interaksi yang saling berkaitan dan menguatkan atau merubahnya secara efektif. Intinya adalah berpikir dalam konteks keseluruhan (Wholeness), keterbukaan (Oppenes) dan Purposefull (maksud dan tujuan) yang bisa jadi terkadang bertolak belakang dari berpikir ilmiah (berpijak pada teori lama). Karena, perkembangan suatu ilmu tidak harus berjalan secara evolutif yang selalu berpijak pada teori lama, tapi bisa saja dengan cara revolutif yaitu tentang apa yang dibutuhkan dalam sistem masyarakat artinya dimana sama sekali tidak berpijak pada teori-teori yang telah ada sebelumnya, melainkan menawarkan sebuah paradigma yang sama sekali baru melalui pendekatan holistik yaitu pandangan yang tidak ditelaah dari satu perspektif saja (positivistik) atau yang sering dikenal dengan istilah atomistik.
DAFTAR PUSTAKA
Abd.Wahhab al-Khallaf, Mashadir at-Tasyri’al-Islami fi mala Nashsha fiha, Kairo: Ma’had ad-Dirasat al-‘Arabiyyah al-‘Aliyah, 1995.
Abdul Basith Junaidi, dkk., Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2009.
Ahmad Raysuni, Nadhariyyat al-Maqashid ‘inda al-Imam asy-Syatibiy, Beirut: al Muassasah al-Jami’iyyah li ad-Dirasat wa an-Nasyr wa at-Tauzi, 1992.
Amin Abdullah, dkk. Mazhab Jogja, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002.
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi, (Jakarta: Grafindo), 1998.
Asmuni Mth, 2005. “Studi Pemikiran Al-Maqashid (Upaya Menemukan Fondasi Ijtihad Akademik Yang Dinamis)”. al- Mawarid, Jurnal Hukum Islam, Edisi XIV. Yogyakarta: FIAI UII.
, dkk. Pribumisasi Hukum Islam (Pembacaan Kontemporer Hukum Islam Di Indonesia). (Yogyakarta: PPS FIAI UII). 2012.
Hammadi al-Ubaydi, Asy-Syatibiy wa Maqashid asy-Syari’ah, Mansyurat Kulliyat ad-Da’wah al-Islamiyyah wa Lajnah al-Huffadz ‘ala at-Turas al-Islami, 1992.
Harold J Berman, Law And Revolution: The Formation Of The Western Legal Tradition: The Formation Of The Western Legal Tradition, Cambridge: Harvad University Press, 1983.
http://gasserauda.net/modules.php?name=Biography diunduh 20 Mei 2015
Husni Muadz, Anatomi Sistem Sosial (Rekontruksi Normalitas Relasi Intersubyektivitas Dengan Pendekatan Sistem, (Mataram: IPGH), 2014.
Izz ad-Din ibn ‘Abd. Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Beirut: Dar al-Jayl, 1980.
Jacobus Ranjabar, Dasar-Dasar Logika (Sebuah Langkah Awal Untuk Masuk Keberbagai Disiplin Ilmu dan Pengetahuan, Bandung: IKAPI, 2014.
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach, London:The International Institut of Islamic Thougth, 2007.
, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid Syari’ah Pendekatan Sistem, Terj. Rosidin dan Ali ‘Abd El-Mun’im, Bandung: Mizan, 2015.
, Maqashid Syari’ah Untuk Pemula (terj. Ali Abd El-Mun’im), (t.t)
- Usman, Rekontruksi Teori Hukum Islam (Membaca Ulang Reaktualisasi Hukum Islam Munawwir Sjadzali), (yogyakarta: Lkis). 2015.
Mashudi, Legal Responbility: Membumikan Asas Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Muhammad Syahrur, Prinsip Dan Dasar Hermenetika Hukum Islam Kontemporer, (terj. Sahiron Syamsuddin), (Yogyakarta: el-SAQ Press), 2012.
www.jasserauda.net dan juga www.maqasid.net.
Yusdani, 2014. “Fiqh Dan Hak Asasi Manusia (Prespektif Dialogis-Preskriptif- Akomodatif)”. al-mawarid, Jurnal Hukum Islam. Vol. XV, No. 1, Februari- Agustus. Yogyakarta: FIAI UII.
[1]Yusdani, “Fiqh Dan Hak Asasi Manusia (Prespektif Dialogis-Preskriptif- Akomodatif)”. al-mawarid, Jurnal Hukum Islam. Vol. XV, No. 1, Februari- Agustus 2014. Yogyakarta: FIAI UII. hlm.18.
[2]Harold J Berman, Law And Revolution: The Formation Of The Western Legal Tradition: The Formation Of The Western Legal Tradition, (Cambridge: Harvad University Press), 1983, hlm. 9.
[3]Mashudi, Legal Responbility: Membumikan Asas Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2015. hlm. 2
[4]Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid Syari’ah Pendekatan Sistem, (Terj. Rosidin dan Ali ‘Abd El-Mun’im), (Bandung: Mizan) , 2015. hlm: 11.
[5]Asmuni Mth, dkk. Pribumisasi Hukum Islam (Pembacaan Kontemporer Hukum Islam Di Indonesia). (Yogyakarta: PPS FIAI UII). 2012. hlm. 10.
[6]Salah satu pendekatan humanistik adalah pendekatan antropologis yang dapat digunakan untuk mengakaji bahasa agama yang plural maupun tunggal. (lihat: Abdul basith junaidi, dkk., Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka pelajar), 2009. hlm. 254.
[7]Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach, (London:The International Institut of Islamic Thougth, 2007), hlm. XXI.
[8] http://gasserauda.net/modules.php?name=Biography diunduh 20 Mei 2015
[9]Lebih jauh tentang Jasser Auda dapat dilacak www.jasserauda.net dan juga www.maqasid.net.
[10] Jasser Auda, Maqashid Syari’ah Untuk Pemula (terj. Ali Abdoel Moe’in), (t.t). hlm. 3
[11]Ahmad Raysuni, Nadhariyyat al-Maqashid ‘inda al-Imam asy-Syatibiy, (Beirut: al Muassasah al-Jami’iyyah li ad-Dirasat wa an-Nasyr wa at-Tauzi, 1992), hlm.32.
[12]Hammadi al-Ubaydi, Asy-Syatibiy wa Maqashid asy-Syari’ah, ( Mansyurat Kulliyat ad-Da’wah al-Islamiyyah wa Lajnah al-Huffadz ‘ala at-Turas al-Islami, 1992), hlm.134-135.
[13]‘Izz ad-Din ibn ‘Abd. Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (Beirut: Dar al-Jayl, 1980), hlm.73
[14]Abd.Wahhab al-Khallaf, Mashadir at-Tasyri’al-Islami fi mala Nashsha fiha, (Kairo: Ma’had ad-Dirasat al-‘Arabiyyah al-‘Aliyah), 1995, hlm.87.
[15]Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi, (Jakarta: Grafindo), 1998. hlm. 57.
[16]Ibid,. Hammadi al-‘Ubaydi, Asy-Syatibiy…, hlm.137-138.
[17]Asmuni Mth, 2005. “Studi Pemikiran Al-Maqashid (Upaya Menemukan Fondasi Ijtihad Akademik Yang Dinamis)”. al- Mawarid, Jurnal Hukum Islam, Edisi XIV . Yogyakarta: FIAI UII.
[18]Jacobus Ranjabar, Dasar-Dasar Logika (Sebuah Langkah Awal Untuk Masuk Keberbagai Disiplin Ilmu dan Pengetahuan, (Bandung: IKAPI), 2014.
[19]Ibid, Jasser Auda…. hlm: 205.
[20]Amin Abdullah, dkk., Mazhab Jogja, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz), 2002.
[21]Muhammad Syahrur, Prinsip Dan Dasar Hermenetika Hukum Islam Kontemporer, (terj. Sahiron Syamsuddin), (Yogyakarta: el-SAQ Press), 2012. hlm 5.
[22]ibid, Jasser Auda, hlm… 253.
[23]Ibid, hlm.191.
[24]Jasser Auda, Ibid. h. XXII. Ketika tulisan ini disiapkan, peristiwa penumbangan rejim pemerintah yang berkuasa lebih dari 30 tahun di Timur Tengah sedang berlangsung. Setelah Presiden Tunisia diturunkan dari tahta kepresidenan oleh rakyatnya, gerakan rakyat tersebut menular ke Mesir dan berhasil pula menumbangkan pemerintahan Husni Mubarak. Secara berturut-turut, sekarang sedang pindah ke Libya, Yaman, Syiria, Bahrain dan begitu setrusnya. Sejarah Timur Tengah – yang notabene mayoritas berpenduduk Muslim – yang baru pasca tumbangnya rezim yang otoriter sedang sedang dicari rumusannya.
[25]Husni Muadz, Anatomi Sistem Sosial (Rekontruksi Normalitas Relasi Intersubyektivitas Dengan Pendekatan Sistem, (Mataram: IPGH), 2014. hlm. 91.
[26]M. Usman, Rekontruksi Teori Hukum Islam (Membaca Ulang Reaktualisasi Hukum Islam Munawwir Sjadzali), (yogyakarta: Lkis). 2015. hlm. xii.